PERKEMBANGAN HASIL KEBUDAYA DAN KEHIDUPAN
SOSIAL-EKONOMIS PADA ZAMAN
MESOLITIKUM DI INDONESIA
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Prasejarah adalah ilmu pengetahuan yang
merekonstruksi segala aspek kehidupan manusia di masa lampau sebelum mengenal tulisan
melalui benda-benda yang ditinggalkan (artefak, ekofak, fitur)serta
mempelajari tradisi sejarah yakni suatu tingkah laku atau pola kehidupan masa
prasejarah yang masih dipertahankan atau berlangsung hingga manusia mengenal
tulisan. Tulisan dijadikan
batasan dari masa prasejarah ke masa sejarah karena tulisan menunjukkan budaya
peradaban yang tinggi. Pada masa prasejarah, manusia sebenarnya sudah mengenal
ilmu pengetahuan. Entah bagaimana mereka belajar untuk menentukan tangkat
kekerasan mineral dan cara menyepuh kapak serta gerabah.
Pada zaman prasejarah juga terdapat
periodesasi (perkerangkaan prasejarah). Tujuan dari perkerangkaan ini adalah
untuk memahami masa lampau dalam kerangka dimensi waktu. Mengingat sifat
sejarah adalah diakronis yang artinya mengalami pemanjangan dalam waktu. Maka
dibuatlah perkerangkaan zaman prasejarah tersebut. Di Indonesia juga terdapat perkerangkaan zaman
prasejarah berdasarkan Konsepsi Baru (Soaial- Ekonomi)
a. Masa
Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana
b. Masa
Berburu dan Meramu makanan Tingkat Lanjut
c. Masa
Bercocok Tanam
d. Masa
Perundagian
(Soejono, 2010)
Pentingnya
belajar prasejarah terletak pada kemampuan kita untuk memahami dan mencari apa
maksud dari pembelajaran itu.
menurut Brian M. Fagan (1992; 12) bahwa: “
A final compelling reason to study world prehistory is simply for its
fascination .... An understanding of world prehistory enable us not only to
better apreciate the monuments but also recognize them for what they are, an
integral part of the cultural heritage of all humanity ”. Keadaan yang
terjadi sekarang ini adalah bahwa banyak sekali peninggalan zaman prasejarah
yang ada di Indonesia, seperti di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali,
Kalimantan, dan Papua. Contohnya saja di gunung Sewu. Daerah Gunung Sewu yang
khusus ini terletak di sebagian pegunungan kapur yang memanjang kira-kira 20-25
km dari pantai menyerong ke daerah pedalaman, dan meliputi sebanyak 135 situs
prasejarah. Sebagian besar situs-situs berada di daerah timur, di sekitar
daerah-daerah di Jawa Timur, yaitu di Punung, Donorejo, dan Pringkuku dan
sebagian kecil terletak di daerah tengah dan barat wilayah penelitian. Gunung
Sewu ini dapat dibedakan beberapa masa secara berurut, yaitu (1) masa
paleolitik, (2) masa mesolitik, (3) masa neolitik, dan (4) masa paleometalik (Soejono, 2010: 30).
Di sini, penulis akan memilih masa mesolitikum sebagai
kajian. Mesolitikum adalah zaman dimana alat-
alat dari tulang dan juga flakes,
yang didapatkan dalam zaman paleolitikum, mengambil bagian penting dalam zaman
Mesolitikum. Sedangkan menurut Cheter S. Chard (1975: 8) bahwa; “ The Mesolithic (“Middle Stone Age”) was
originally coined to cover the hiatus between in the western Eoropen sequence.
It is generally used to refer to human cultures in postglacial times which had
not attained a level definable as Neolithic”.
Banyaknya sisa
peninggalan zaman prasejarah yang ada di Indonesia dan itu harus membuat kita
bangga karena kita termasuk salah satu bangsa yang memiliki peradaban masa
prasejarah. Sudah selayaknya kita memahami dan kemudian melestarikan apa yang
sudah ada. Bahkan jika bisa, kita harus lebih kreatif dan inovatif dari hasil-
hasil budaya dan peninggalan masa prasejarah. Agar yang sudah ada tetap
terlestarikan dan yang tidak ada bisa kita lengkapi dan sempurnakan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
saja peninggalan budaya di zaman mesolitikum di Indonesia?
2. Bagaimana
kehidupan sosial di zaman mesolitikum di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui macam-macam peninggalan
budaya zaman mesolitikum di Indonesia.
2.
Mengetahui kehidupan
sosial di zaman mesolitikum di Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Peninggalan
Budaya Zaman Mesolitikum di Indonesia
Kebudayaan mesolitikum mempunyai tiga bagian
penting yang dapat diringkaskan sebagai berikut: mesolitikum: pebble-culture (terutama di kjokkenmoddinger), bone-culture, dan flakes-culture (terutama di abris
sous roche) ( Soekmono, 1973: 43).
a.
Pebble Culture
1. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Suatu
corak istimewa dari mesolitikum adalah adanya peninggalan-peninggalan yang
disebut dengan perkataan Denmark Kjokkenmoddinger
(kjokken= dapur, modding= sampah, jadi arti sebenarnya:
sampah- sampah dapur). Didapatkannya di sepanjang pantai- pantai Sumatra timur
laut, di antara Langsa, di Aceh dan Medan, beberapa puluh kilometer dari laut
sekarang, tetapi dahulunya di tepi pantai ( Soekmono,
1973: 39).
Gambar
1: Kjokkenmoddinger
Pada saat bukit- bukit itu pertama kali ditemukan,
para ahli geologi mengira bahwa itu adalah suatu lapisan bumi yang istimewa,
namun tidak demikian keadaannya. Pada tahun
1925 dan 1926 Callefens melakukan ekskavasi di sebuah bukit kerang dekat Medan,
dan menghasilkan temuan kerang. Kerang-kerang yang berasal dari kulit kerang
ini kemudian diteliti oleh van der Meer Mohr. Sebagian dari kerang terdiri dari
Meretrix- meretrix dan sebagian kecil
Ostrea (Soejono, 2010: 177) Ternyata
tumpukan yang awalnya dikira lapisan bumi, adalah tumpukan sisa-sisa kulit
kerang. Di antara kerang itu mungkin ada yang dipergunakan sebagai alat tiup, alat
minum, atau gayung air. Mungkin ada pula yang dijadikan sebagai perhiasan.
Mungkin terdapat juga jenis kerang yang biasa untuk makan. Bekas-bekas itu menunjukkan telah
adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah- rumah bertonggak. Hidupnya
terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian
dihisap isinya dari bagian kepalanya. Sisa-sisa makanan mereka berupa rumah
siput yang elah dipotong bagian ekornya dan kulit-kulit kerang dibuang pada
suatu tempat sehingga membentuk ketinggian. Selama rarusan sampai ribuan tahun
kemudian timbunan itu bereaksi secara kimiawi dan menjelma menjadi bukit
karang, kemudian inilah yang dinamakan sampah dapur (lihat gambar 1).Cara makan siput yang
seperti itu, masih banyak dilakukan oleh manusia zaman sekarang yaitu di daerah
Pamekasan, Madura. Meskipun tidak secara umum, namun hal tersebut menunjukkan
bahwa pola tingkah laku di zaman mesolitikum masih ada sampai sekarang.
2. Pebble ( kapak
genggam mesolitikum Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925,
Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak
genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatra (lihat gambar 2).
Gambar 2: Kapak
Genggam Mesolitikum Sumatera
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu
kali yang dipecah-pecah dengan rincian sisi luar yang sudah halus tidak dibilah , sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut
sesuai dengan kebutuhan (Soekmono, 1973: 39).
Antara
perkakas kuno
zaman paleolitik dengan perkakas zaman Mesolitik terdapat perbedaan. Mesolitik berasal dari mesolithicum, mesos=
tengah= madya atau pertengahan. Perkakas atau alat-alat Mesolitik sudah mulai
digosok walaupun masih sangat kasar. Penggunaan alat-alat tersebut belum
sempurna, artinya
belum mempergunakan tangkai sebagai alat pemegang atau penyambung tangan.
Penggunaannya sama dengan alat-alat paleolitik, yaitu digenggam (Kosoh, 1979: 20).
Menurut Heekeren (dalam Soejono, 2010: 176), sejumlah
alat batu di Indonesia yang dikenal dengan kapak genggan Sumatra ini berasal
dari Asia Tenggara dan ditemukan di Cina Selatan, Vietnam, Kamboja, Laos, dan
Semenanjung Malaya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara
tersebut memiliki hubungan unit kebudayaan yang sama. Di Indonesia, kapak genggam
Sumatra ditemukan tersebar di pantai timur Sumatra Utara, yaitu di Lhok Seumawe
dan Binjai (Tamiang).
3.
Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit
kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah
lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak
pendek. Melihat dari bentuknya, kemungkinan besar kapak pendek ini dibentuk
dengan cara dipukul dan dipecahkan. Selain itu kapak ini tidak diasah. Entah
ini benar- benar kapak atau bukan, karena bentuknya yang tidak jelas dan letak
ketajamannya hanya terdapat pada ujung yang melingkar. Hal ini dikarenakan sebagian besar alatnya berbentuk lonjong dan
dikerjakan pada satu sisi saja (monofacial
hands-axe).
4. Pipisan
Selain kapak-kapak yang telah disebutkan di atas, di
bukit karang juga ditemukan berbagai
pipisan ( batu-batu penggiling beserta landasannya ) (lihat gambar 3).
Gambar 3:
Pipisan
Pipisan ini
rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata dari bekas-bekasnya (Soekmono, 1973: 40). Kemungkinan besar warna merah ini
diidentikkan dengan darah. Kebiasaan orang-orang terdahulu adalah melumuri
badan dengan darah untuk menambah daya tahan dan kekuatan. Tridisi seperti itu
masih dilakukan sampai sekarang oleh oran-orang yang masih bertahan dan percaya
pada ajaran mistis, terutama sihir.
b. Bone Culture
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk tampaknya merupakan hal yang
bersifat universal. Temuan tulang artefak sampai saat ini baru diketahui di
daerah Wonosari, Gunung Kidul. Situs yang mengandung sejumlah besar alat
terdapat di situs gua Braholo yang sampai saat ini masih diteliti oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional.
Menurut Barnaouw (dalam
Soejono, 2010:172), mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya
kepadatan temuan artefak tulang berupa lancipan atau jarum, baik yang berujung
tunggal maupun ganda, serta spatula dari tulang dan tanduk. Persebaran artefak
tulang di wilayah Jawa Tengah diketahui berada di wilayah Blora, yaitu di situs
Ngandong dan Siderojo.
Selain itu, berdasarkan
alat-alat kehidupan yang ditemukan di gua Lawa di Sampung (daerah
Ponorogo-Madiun, Jawa Timur), ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah
dan flakes, kapak yang sudah diasah,
alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh
para arkeolog bagian besar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang,
sehingga disebut sebagai Sampung bone
culture. Peninggalan-peninggalan Sampung ini dapat disamakan dengan
temuan-temuan di gua-gua Tonkin yang bercampur dengan temuan-temuan kapak Hoabinhiani ( Sumatralith) dan di bukit-bukit kerang di Dabut ( Vietnam Utara).
Pada tingkat perkembangan kebudayaan gua-gua ini terdapat penemuan-penemuan
sejenis di hampir seluruh Asia Tenggara ( Jambi, Sulawesi, Flores, Timor,
Maluku, Irian, dan tercakup juga Gua Niah di Serawak, Gua Tabon di Filipina,
dan lain-lain) (Soejono, 2010: 31).
Hal tersebut membuktikan bahwa hasil budaya mesolitikum
di Indonesia memiliki persamaan dengan negara-negara di luar. Hal tersebut
mungkin dikarenakan Indonesia
terletak di
antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Sehingga selain mendapat pengaruh
iklim dari
kedua benua tersebut, Indonesia juga mendapat pengaruh penyebaran hewan,
penyebaran manusia dan penyebaran kebudayaan.
c. Flakes Culture
Tradisi
serpih-bilah berkembang di beberapa daerah di Asia Tenggara, terutama di
Indonesia. Di Indonesia sendiri tradisis ini menonjol pada kala
pasca-Plestosen. Teknik pembuatan alat-alatnya melanjutkan teknik pada masa
sebelumnya, tetapi bentuk alat-alatnya tampak lebih maju dalam berbagai corak
untuk bermacam kegunaan. Kadang-kadang bentuknya kecil melalui teknik
pengerjaan yang rumit. Bahan batu yang dipakai untuk membuat alat di antaranya
adalah kalsedon, batu gamping, dan andesit. Tradisi serpih-bilah berlangsung
dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi dan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur,
sedangkan di Jawa serpih-bilah tidak memainkan peran penting dalam konteks tradisi
tulang.
Aspek
teknologis menghadirkan cirri-ciri umum berupa dataran pukul yang disiapkan
sebelum pelepasan, bulbus yang terjadi di bidang alas sebagai akibat pada
tekanan kala pemangkasan, bekas pemangkasan serpih lain, dan retus-retus
pengerjaan untuk penyempurnaan tajaman. Tipologi artefak yang dihasilkan cukup
berfariasi. Menurut Simanjuntak (dalam Soejono, 2010: 166), tipe-tipe alat yang
dihasilkan adalah sebagai berikut:
1.
Serut,
dicirikan oleh keberadaan retus bersambung menutupi seluruh atau sebagian sisi
alat. Jenis ini merupakan jenis yang dominan, dengan retus yang cenderung
bersifat marginal. Serut terdiri dari empat tipe, yaitu serut samping, serut
ujung, serut cekung, dan serut gigir.
2.
Serpih
tanpa retus, kelompok ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan serpih yang
diretus untuk dijadikan alat dalam hal morfologi, teknologis, maupun metric.
3.
Serpih
dengan retus pemakaian, cirri morfologisnya sama dengan serpih tanpa retus,
bedanya ialah dalam hal kehadiran primping-perimping bekas pemakainan.
4.
Bilah
dengan retus, memiliki cirri-ciri teknologis yang sama dengan serpih, dengan
perbedaan pokok pada morfologi yang memanjang dengan kedua sisi lateral yang
relative sejajar.
Menurut
Soekmono (1973: 41, hasil budaya paling terkenal
di flakes culture ini adalah abris sous roche. Abris sous
roche adalah gua-gua yang yang dijadikan tempat tinggal
manusia purba pada zaman mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan
dari cuaca dan binatang buas (lihat gambar 4).
Gambar 4: Abris Sous Roche
Penyelidikan
pertama pada abris sous roche
dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di gua Lawa dekat
Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara
lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari
zaman mesolitikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara
alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari
tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan
tulang dari Sampung. Karena gua di Sampung tidak ditemukan pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan mesolitikum.
Selain di Sampung, abris sous roche
juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap gua
di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. abris sous roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote.
Penelitian terhadap gua tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya
ditemukan flakes dan ujung mata panah
yang terbuat dari batu indah (Soekmono, 1973: 41-42).
Abris sous
roche ditemukan juga di Sulawesi Selatan, daerah Lamancong.
Menurut catatan sejarah hasil penyelidikan tahun 1893 bahwa manusia yang
mendiami daerah ini adalah orang Toala, suatu suku penduduk keturunan langsung
dari zaman Prasejara, dan masih sekeluarga dengan suku bangsa Wedda dan Sailan.
Dari penyelidikan lebih lanjut akhirnya dipastikan bahwa kebudayaan Toala
termasuk dalam zaman batu tengah, yang hasilnya berupa flakes dan alat-alat tulang. Manusia yang hidup pada saat zaman
Gambar 5: Kebudayaan Toala
memilih gua
sebagai tempat hunian dimungkinkan karena adnanya kesatuan kondisi geologi,
ekologi, dan biologi yang saling menunjang dan disediakan oleh sebuah gua. Ketiga
kondisi ini memungkinkan manusia dapat bertahan dan beradaptasi dengan
lingkungannya untuk melanjutkan hidup dan menangkal sejumlah masalah yan
disajikan oleh alam.
2. Kehidupan Sosial-Ekonomis pada Zaman Mesolitikum di Indonesia
Manusia
paleolitikum masih
rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya pengembara sebagai pemburu,
penangkap ikan, dan pengumpul bahan-bahan makanan, seperti buah-buahan,
jenis-jenis ubi, keladi, dan bahan makanan lainnya. Jadi sebanyak-banyaknya
hanya mengumpulkan saja makanan apa yang ia dapati dari alam ( Drs. R.
Soekmono,1973: 38).
Cara hidup
pada masa mesolitikum masih dipengaruhi oleh cara hidup sebelumnya.
Factor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan keadaan fauna amat
berpengaruh dan menentukan hidup mereka sehari-hari. Hidup mereka masih
sepenuhnya tergantung pada alam. Dalam hidup yang sepenuhnya tergantung pada
alam tersebut, mereka juga menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal.
Tempat yang mereka tinggali adalah gua-gua alam (caves) atau di gua-gua payung atau ceruk (rock-shelters) walaupun tidak menetap (Soejono, 2010: 180).
Mereka memilih
gua-gua yang tidak jauh dari sumber air, atau di dekat sungai yang mengandung
sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput. Selain itu, pertimbangan
kesuburan tanah dan kondisi gua sendiri juga menjadi pertimbangan mereka
menempati gua. Kondisi gua yang akan dipilih oleh mereka apabila pencahayaan
dan sirkulasi udara lancer (guna), lantai gua harus lebih tinggi dari
permukaan, dan lantai gua dari tanah. Karena jika dari tanah apabila malam akan
hangat dan siang dingin. Sehubungan dengan kesuburan tanah, apabila tanah tidak
subur untuk tanaman, mereka akan mencari tempat lain untuk melangsungkan hidup.
Berdasarkan
temuan-temuan artefak pada masa mesolitikum ini, tampaklah kelanjutan tradisi alat-alat
batu dan tulang. Penbuatan alat-alat dari batu dan tulang menghasilkan kapak
genggam Sumatra dan kapak pendek di beberapa wilayah, sedangkan alat
serpih-bilah boleh dikatakan sebagai pelengkap alat-alat utama. Di samping
pembuatan alat dari batu, tulang, tanduk, dan kulit kerang, ada juga kemungkinan
mereka sudah membuat alat-alat dari pepohonan yang ada. Misalnya bambu, karena
bamboo bisa dijadikan lancipan untuk sudip dan lainnya. Selain itu untuk tempat
makanan bambu bisa digunakan sebagai wadah apabila dianyam.
Menurut
Prasetyo (dalam Soejono, 2010: 181), mengatakan bahwa penemuan api dan
perkembangan teknologi pertanian merupakan proses pembarun yang memberntuk
dasar budaya. Hal ini mungkin karena selain mendatangkan tanda awal kehidupan
social, juga melahirkan teknologi lainnya yang berhubungan. Artinya di sini,
mereka akan berpikir apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat makanan dengan
menggunakan perapian.
Sebagian manusia pendukung
kebudayaan mesolitikum masih tetap berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi
sebagian besar dari mereka sudah mempunyai tempat tinggal tetap di gua-gua dan
bercocok tanam secara sederhana. Ada pula pendukung kebudayaan batu madya yang
hidup di daerah pesisir. Hal tersebut karena
ditemukannya kjokkenmoddinger, yang
membuktikan bahwa mereka hidup
dengan menangkap ikan, siput, dan kerang.
Bercocok tanam dikerjakan
secara sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut keadaan
kesuburan tanah. mereka menanam umbi-umbian,.Mereka juga sudah menanan sejenis
padi liar (sudah melakukan domestikasi). Setelah musim panen selesai, lahan
pertanian yang sederhana itu akan ditinggalkan dan mencari tempat baru. Di
tempat baru ini mereka akan melakukan pola kehidupan seperti sebelumnya. Kehadiran
alat-alat batu, alat-alat tulang, dan gerabah memberikan gambaran bahwa mereka
sudah mulai memasak makanan atau hasi panen dan buruan mereka. Karena seperti
kita ketahui bahwa gerabah bisa digunakan sebagai wadah dan tempat memasak.
Jadi mungkin inilah hubungan adanya api dengan perkenbangan alat-alat
selanjutnya.
Pada masa itu, manusia sudah
berusaha menjinakkan binatang (domestikasi). Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil gigi anjing di
Gua Cokondo, Sulawesi Selatan Hawkes (dalam Soejono: 184).
Meskipun tidak ada bukti-bukti yang kuat tentang hal tersebut, yaitu yang
nantinya akan berkaitan dengan pemeliharaan dan perkembangbiakan binatang.
Namun seperti kita ketahui bahwa anjing adalah binatang yang dapat menolong manusia
dalam hidupnya, seperti berburu, dapat dipergunakan untuk menjaga tempat
tinggal, dan dapat digunakan untuk berburu di dalam hutan, karena anjing adalah
hewan karnivora dan memiliki daya cium yang sangat tajam.
Penutup
Pada
zaman mesolitikum di Indonesia, terdapat tiga kebudayaan utama, yaitu Pabble Culture, Bone Culture, dan Flakes Culture. Hasil dari kebudayaan tersebut ternyata memiliki
kesamaan dengan daerah luar Indonesia sendiri, yang menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki kesamaan konsepsi unit kebudayaan.
Pada zaman mesolitikum
manusia sudah melakukan perburuan dan mengumpulkan makanan. Selain itu mereka
mulai bercocok tanam secara sederhana. Selain itu mereka juga mulai melakukan domestikasi dan
mengenal api. Dengan adanya api, mereka akan membuat alat-alat yang berhubungan
dengan penggunaan api, sehingga ada kemungkinan mereka sudah memasak makanan
yang akan mereka makan.
Daftar Pustaka
Chard, Cheter. S. 1975. Man In Prehistory. United State of America:
McGraw-Hill Inc.
Fagan, Brian M. 1992. People of The Earth: An Introduction to Word
Prehistory. United State of America: Lindbriar Corporation.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Jakarta.
Soejono, dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Prasejarah
di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka.
Kosoh, Suwarno, & Syafei. 1979. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan
dan Sastra Indonesia Daerah.
+ komentar + 2 komentar
Ahh kontol
Wynn Casino & Hotel - MapYRO
Casino - Las Vegas - See 9 traveler reviews, 2 photos and 논산 출장샵 blog posts. Rating: 여수 출장마사지 5 전주 출장샵 · 논산 출장샵 1 속초 출장마사지 review · Price range: $$$$
Posting Komentar