zaman mesolitikum


PERKEMBANGAN HASIL KEBUDAYA DAN KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMIS PADA ZAMAN MESOLITIKUM DI INDONESIA

                                                                                
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
             Prasejarah adalah ilmu pengetahuan yang merekonstruksi segala aspek kehidupan manusia di masa lampau sebelum mengenal tulisan melalui benda-benda yang ditinggalkan (artefak, ekofak, fitur)serta mempelajari tradisi sejarah yakni suatu tingkah laku atau pola kehidupan masa prasejarah yang masih dipertahankan atau berlangsung hingga manusia mengenal tulisan. Tulisan dijadikan batasan dari masa prasejarah ke masa sejarah karena tulisan menunjukkan budaya peradaban yang tinggi. Pada masa prasejarah, manusia sebenarnya sudah mengenal ilmu pengetahuan. Entah bagaimana mereka belajar untuk menentukan tangkat kekerasan mineral dan cara menyepuh kapak serta gerabah.
            Pada zaman prasejarah juga terdapat periodesasi (perkerangkaan prasejarah). Tujuan dari perkerangkaan ini adalah untuk memahami masa lampau dalam kerangka dimensi waktu. Mengingat sifat sejarah adalah diakronis yang artinya mengalami pemanjangan dalam waktu. Maka dibuatlah perkerangkaan zaman prasejarah tersebut. Di Indonesia juga terdapat perkerangkaan zaman prasejarah berdasarkan Konsepsi Baru (Soaial- Ekonomi)
a.    Masa Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana
b.    Masa Berburu dan Meramu makanan Tingkat Lanjut
c.    Masa Bercocok Tanam
d.   Masa Perundagian
(Soejono, 2010)
            Pentingnya belajar prasejarah terletak pada kemampuan kita untuk memahami dan mencari apa maksud dari pembelajaran itu. menurut Brian M. Fagan (1992; 12) bahwa: “ A final compelling reason to study world prehistory is simply for its fascination .... An understanding of world prehistory enable us not only to better apreciate the monuments but also recognize them for what they are, an integral part of the cultural heritage of all humanity ”. Keadaan yang terjadi sekarang ini adalah bahwa banyak sekali peninggalan zaman prasejarah yang ada di Indonesia, seperti di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali, Kalimantan, dan Papua. Contohnya saja di gunung Sewu. Daerah Gunung Sewu yang khusus ini terletak di sebagian pegunungan kapur yang memanjang kira-kira 20-25 km dari pantai menyerong ke daerah pedalaman, dan meliputi sebanyak 135 situs prasejarah. Sebagian besar situs-situs berada di daerah timur, di sekitar daerah-daerah di Jawa Timur, yaitu di Punung, Donorejo, dan Pringkuku dan sebagian kecil terletak di daerah tengah dan barat wilayah penelitian. Gunung Sewu ini dapat dibedakan beberapa masa secara berurut, yaitu (1) masa paleolitik, (2) masa mesolitik, (3) masa neolitik, dan (4) masa paleometalik (Soejono, 2010: 30). Di sini, penulis akan memilih masa mesolitikum sebagai kajian. Mesolitikum adalah zaman dimana alat- alat dari tulang dan juga flakes, yang didapatkan dalam zaman paleolitikum, mengambil bagian penting dalam zaman Mesolitikum. Sedangkan menurut Cheter S. Chard (1975: 8) bahwa; “ The Mesolithic (“Middle Stone Age”) was originally coined to cover the hiatus between in the western Eoropen sequence. It is generally used to refer to human cultures in postglacial times which had not attained a level definable as Neolithic”.
Banyaknya sisa peninggalan zaman prasejarah yang ada di Indonesia dan itu harus membuat kita bangga karena kita termasuk salah satu bangsa yang memiliki peradaban masa prasejarah. Sudah selayaknya kita memahami dan kemudian melestarikan apa yang sudah ada. Bahkan jika bisa, kita harus lebih kreatif dan inovatif dari hasil- hasil budaya dan peninggalan masa prasejarah. Agar yang sudah ada tetap terlestarikan dan yang tidak ada bisa kita lengkapi dan sempurnakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja peninggalan budaya di zaman mesolitikum di Indonesia?
2.   Bagaimana kehidupan sosial di zaman mesolitikum di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui macam-macam peninggalan budaya zaman mesolitikum di Indonesia.
2. Mengetahui kehidupan sosial di zaman mesolitikum di Indonesia.       







B. Pembahasan
1.   Peninggalan Budaya Zaman Mesolitikum di Indonesia
        Kebudayaan mesolitikum mempunyai tiga bagian penting yang dapat diringkaskan sebagai berikut: mesolitikum: pebble-culture (terutama di kjokkenmoddinger), bone-culture, dan flakes-culture (terutama di abris sous roche) ( Soekmono, 1973: 43).
a.      Pebble Culture
1.      Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
            Suatu corak istimewa dari mesolitikum adalah adanya peninggalan-peninggalan yang disebut dengan perkataan Denmark Kjokkenmoddinger (kjokken= dapur, modding= sampah, jadi arti sebenarnya: sampah- sampah dapur). Didapatkannya di sepanjang pantai- pantai Sumatra timur laut, di antara Langsa, di Aceh dan Medan, beberapa puluh kilometer dari laut sekarang, tetapi dahulunya di tepi pantai ( Soekmono, 1973: 39).
Gambar 1: Kjokkenmoddinger

Pada saat bukit- bukit itu pertama kali ditemukan, para ahli geologi mengira bahwa itu adalah suatu lapisan bumi yang istimewa, namun tidak demikian keadaannya. Pada tahun 1925 dan 1926 Callefens melakukan ekskavasi di sebuah bukit kerang dekat Medan, dan menghasilkan temuan kerang. Kerang-kerang yang berasal dari kulit kerang ini kemudian diteliti oleh van der Meer Mohr. Sebagian dari kerang terdiri dari Meretrix- meretrix dan sebagian kecil Ostrea (Soejono, 2010: 177)  Ternyata tumpukan yang awalnya dikira lapisan bumi, adalah tumpukan sisa-sisa kulit kerang. Di antara kerang itu mungkin ada yang dipergunakan sebagai alat tiup, alat minum, atau gayung air. Mungkin ada pula yang dijadikan sebagai perhiasan. Mungkin terdapat juga jenis kerang yang biasa untuk makan. Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah- rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Sisa-sisa makanan mereka berupa rumah siput yang elah dipotong bagian ekornya dan kulit-kulit kerang dibuang pada suatu tempat sehingga membentuk ketinggian. Selama rarusan sampai ribuan tahun kemudian timbunan itu bereaksi secara kimiawi dan menjelma menjadi bukit karang, kemudian inilah yang dinamakan sampah dapur (lihat gambar 1).Cara makan siput yang seperti itu, masih banyak dilakukan oleh manusia zaman sekarang yaitu di daerah Pamekasan, Madura. Meskipun tidak secara umum, namun hal tersebut menunjukkan bahwa pola tingkah laku di zaman mesolitikum masih ada sampai sekarang.           
2.   Pebble ( kapak genggam mesolitikum Sumatera = Sumateralith)
            Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatra (lihat gambar 2).
Gambar 2: Kapak Genggam Mesolitikum Sumatera

Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah dengan rincian sisi luar yang sudah halus tidak dibilah , sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan (Soekmono, 1973: 39).
            Antara perkakas kuno zaman paleolitik dengan perkakas zaman Mesolitik terdapat perbedaan. Mesolitik berasal dari mesolithicum, mesos= tengah= madya atau pertengahan. Perkakas atau alat-alat Mesolitik sudah mulai digosok walaupun masih sangat kasar. Penggunaan alat-alat tersebut belum sempurna, artinya belum mempergunakan tangkai sebagai alat pemegang atau penyambung tangan. Penggunaannya sama dengan alat-alat paleolitik, yaitu digenggam (Kosoh, 1979: 20).
            Menurut Heekeren (dalam Soejono, 2010: 176), sejumlah alat batu di Indonesia yang dikenal dengan kapak genggan Sumatra ini berasal dari Asia Tenggara dan ditemukan di Cina Selatan, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Semenanjung Malaya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara tersebut memiliki hubungan unit kebudayaan yang sama. Di Indonesia, kapak genggam Sumatra ditemukan tersebar di pantai timur Sumatra Utara, yaitu di Lhok Seumawe dan Binjai (Tamiang).
3.   Hachecourt (kapak pendek)
            Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek. Melihat dari bentuknya, kemungkinan besar kapak pendek ini dibentuk dengan cara dipukul dan dipecahkan. Selain itu kapak ini tidak diasah. Entah ini benar- benar kapak atau bukan, karena bentuknya yang tidak jelas dan letak ketajamannya hanya terdapat pada ujung yang melingkar. Hal ini dikarenakan sebagian besar alatnya berbentuk lonjong dan dikerjakan pada satu sisi saja (monofacial hands-axe).
4.   Pipisan
Selain kapak-kapak yang telah disebutkan di atas, di bukit karang juga ditemukan berbagai pipisan ( batu-batu penggiling beserta landasannya ) (lihat gambar 3).
Gambar 3: Pipisan
Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata dari bekas-bekasnya (Soekmono, 1973: 40). Kemungkinan besar warna merah ini diidentikkan dengan darah. Kebiasaan orang-orang terdahulu adalah melumuri badan dengan darah untuk menambah daya tahan dan kekuatan. Tridisi seperti itu masih dilakukan sampai sekarang oleh oran-orang yang masih bertahan dan percaya pada ajaran mistis, terutama sihir.       
b.      Bone Culture
       Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk tampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Temuan tulang artefak sampai saat ini baru diketahui di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Situs yang mengandung sejumlah besar alat terdapat di situs gua Braholo yang sampai saat ini masih diteliti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

            Menurut Barnaouw (dalam Soejono, 2010:172), mengatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya kepadatan temuan artefak tulang berupa lancipan atau jarum, baik yang berujung tunggal maupun ganda, serta spatula dari tulang dan tanduk. Persebaran artefak tulang di wilayah Jawa Tengah diketahui berada di wilayah Blora, yaitu di situs Ngandong dan Siderojo.
            Selain itu, berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di gua Lawa di Sampung (daerah Ponorogo-Madiun, Jawa Timur), ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian besar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung bone culture. Peninggalan-peninggalan Sampung ini dapat disamakan dengan temuan-temuan di gua-gua Tonkin yang bercampur dengan temuan-temuan kapak Hoabinhiani ( Sumatralith) dan di bukit-bukit kerang di Dabut ( Vietnam Utara). Pada tingkat perkembangan kebudayaan gua-gua ini terdapat penemuan-penemuan sejenis di hampir seluruh Asia Tenggara ( Jambi, Sulawesi, Flores, Timor, Maluku, Irian, dan tercakup juga Gua Niah di Serawak, Gua Tabon di Filipina, dan lain-lain) (Soejono, 2010: 31).
Hal tersebut membuktikan bahwa hasil budaya mesolitikum di Indonesia memiliki persamaan dengan negara-negara di luar. Hal tersebut mungkin dikarenakan Indonesia
terletak di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Sehingga selain mendapat pengaruh
iklim dari kedua benua tersebut, Indonesia juga mendapat pengaruh penyebaran hewan, penyebaran manusia dan penyebaran kebudayaan.
c.       Flakes Culture
            Tradisi serpih-bilah berkembang di beberapa daerah di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Di Indonesia sendiri tradisis ini menonjol pada kala pasca-Plestosen. Teknik pembuatan alat-alatnya melanjutkan teknik pada masa sebelumnya, tetapi bentuk alat-alatnya tampak lebih maju dalam berbagai corak untuk bermacam kegunaan. Kadang-kadang bentuknya kecil melalui teknik pengerjaan yang rumit. Bahan batu yang dipakai untuk membuat alat di antaranya adalah kalsedon, batu gamping, dan andesit. Tradisi serpih-bilah berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi dan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, sedangkan di Jawa serpih-bilah tidak memainkan peran penting dalam konteks tradisi tulang.
            Aspek teknologis menghadirkan cirri-ciri umum berupa dataran pukul yang disiapkan sebelum pelepasan, bulbus yang terjadi di bidang alas sebagai akibat pada tekanan kala pemangkasan, bekas pemangkasan serpih lain, dan retus-retus pengerjaan untuk penyempurnaan tajaman. Tipologi artefak yang dihasilkan cukup berfariasi. Menurut Simanjuntak (dalam Soejono, 2010: 166), tipe-tipe alat yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1.   Serut, dicirikan oleh keberadaan retus bersambung menutupi seluruh atau sebagian sisi alat. Jenis ini merupakan jenis yang dominan, dengan retus yang cenderung bersifat marginal. Serut terdiri dari empat tipe, yaitu serut samping, serut ujung, serut cekung, dan serut gigir.
2.   Serpih tanpa retus, kelompok ini memiliki ciri-ciri yang sama dengan serpih yang diretus untuk dijadikan alat dalam hal morfologi, teknologis, maupun metric.
3.   Serpih dengan retus pemakaian, cirri morfologisnya sama dengan serpih tanpa retus, bedanya ialah dalam hal kehadiran primping-perimping bekas pemakainan.
4.   Bilah dengan retus, memiliki cirri-ciri teknologis yang sama dengan serpih, dengan perbedaan pokok pada morfologi yang memanjang dengan kedua sisi lateral yang relative sejajar.
            Menurut Soekmono (1973: 41, hasil budaya paling terkenal di flakes culture ini adalah abris sous roche.  Abris sous roche adalah gua-gua yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas (lihat gambar 4).

Gambar 4: Abris Sous Roche

            Penyelidikan pertama pada abris sous roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di gua Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman mesolitikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena gua di Sampung tidak ditemukan pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan mesolitikum. Selain di Sampung, abris sous roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap gua di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. abris sous roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap gua tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah (Soekmono, 1973: 41-42).
            Abris sous roche ditemukan juga di Sulawesi Selatan, daerah Lamancong. Menurut catatan sejarah hasil penyelidikan tahun 1893 bahwa manusia yang mendiami daerah ini adalah orang Toala, suatu suku penduduk keturunan langsung dari zaman Prasejara, dan masih sekeluarga dengan suku bangsa Wedda dan Sailan. Dari penyelidikan lebih lanjut akhirnya dipastikan bahwa kebudayaan Toala termasuk dalam zaman batu tengah, yang hasilnya berupa flakes dan alat-alat tulang. Manusia yang hidup pada saat zaman
Gambar 5: Kebudayaan Toala
memilih gua sebagai tempat hunian dimungkinkan karena adnanya kesatuan kondisi geologi, ekologi, dan biologi yang saling menunjang dan disediakan oleh sebuah gua. Ketiga kondisi ini memungkinkan manusia dapat bertahan dan beradaptasi dengan lingkungannya untuk melanjutkan hidup dan menangkal sejumlah masalah yan disajikan oleh alam.
2.   Kehidupan Sosial-Ekonomis pada Zaman Mesolitikum di Indonesia
            Manusia paleolitikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya pengembara sebagai pemburu, penangkap ikan, dan pengumpul bahan-bahan makanan, seperti buah-buahan, jenis-jenis ubi, keladi, dan bahan makanan lainnya. Jadi sebanyak-banyaknya hanya mengumpulkan saja makanan apa yang ia dapati dari alam ( Drs. R. Soekmono,1973: 38).
Cara hidup pada masa mesolitikum masih dipengaruhi oleh cara hidup sebelumnya. Factor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan keadaan fauna amat berpengaruh dan menentukan hidup mereka sehari-hari. Hidup mereka masih sepenuhnya tergantung pada alam. Dalam hidup yang sepenuhnya tergantung pada alam tersebut, mereka juga menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal. Tempat yang mereka tinggali adalah gua-gua alam (caves) atau di gua-gua payung atau ceruk (rock-shelters) walaupun tidak menetap (Soejono, 2010: 180).
Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber air, atau di dekat sungai yang mengandung sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput. Selain itu, pertimbangan kesuburan tanah dan kondisi gua sendiri juga menjadi pertimbangan mereka menempati gua. Kondisi gua yang akan dipilih oleh mereka apabila pencahayaan dan sirkulasi udara lancer (guna), lantai gua harus lebih tinggi dari permukaan, dan lantai gua dari tanah. Karena jika dari tanah apabila malam akan hangat dan siang dingin. Sehubungan dengan kesuburan tanah, apabila tanah tidak subur untuk tanaman, mereka akan mencari tempat lain untuk melangsungkan hidup.
Berdasarkan temuan-temuan artefak pada masa mesolitikum ini, tampaklah kelanjutan tradisi alat-alat batu dan tulang. Penbuatan alat-alat dari batu dan tulang menghasilkan kapak genggam Sumatra dan kapak pendek di beberapa wilayah, sedangkan alat serpih-bilah boleh dikatakan sebagai pelengkap alat-alat utama. Di samping pembuatan alat dari batu, tulang, tanduk, dan kulit kerang, ada juga kemungkinan mereka sudah membuat alat-alat dari pepohonan yang ada. Misalnya bambu, karena bamboo bisa dijadikan lancipan untuk sudip dan lainnya. Selain itu untuk tempat makanan bambu bisa digunakan sebagai wadah apabila dianyam.
Menurut Prasetyo (dalam Soejono, 2010: 181), mengatakan bahwa penemuan api dan perkembangan teknologi pertanian merupakan proses pembarun yang memberntuk dasar budaya. Hal ini mungkin karena selain mendatangkan tanda awal kehidupan social, juga melahirkan teknologi lainnya yang berhubungan. Artinya di sini, mereka akan berpikir apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat makanan dengan menggunakan perapian.  
Sebagian manusia pendukung kebudayaan mesolitikum masih tetap berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi sebagian besar dari mereka sudah mempunyai tempat tinggal tetap di gua-gua dan bercocok tanam secara sederhana. Ada pula pendukung kebudayaan batu madya yang hidup di daerah pesisir. Hal tersebut karena ditemukannya kjokkenmoddinger, yang membuktikan bahwa mereka hidup dengan menangkap ikan, siput, dan kerang.
Bercocok tanam dikerjakan secara sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut keadaan kesuburan tanah. mereka menanam umbi-umbian,.Mereka juga sudah menanan sejenis padi liar (sudah melakukan domestikasi). Setelah musim panen selesai, lahan pertanian yang sederhana itu akan ditinggalkan dan mencari tempat baru. Di tempat baru ini mereka akan melakukan pola kehidupan seperti sebelumnya. Kehadiran alat-alat batu, alat-alat tulang, dan gerabah memberikan gambaran bahwa mereka sudah mulai memasak makanan atau hasi panen dan buruan mereka. Karena seperti kita ketahui bahwa gerabah bisa digunakan sebagai wadah dan tempat memasak. Jadi mungkin inilah hubungan adanya api dengan perkenbangan alat-alat selanjutnya.
 Pada masa itu, manusia sudah berusaha menjinakkan binatang (domestikasi). Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil gigi anjing di Gua Cokondo, Sulawesi Selatan Hawkes (dalam Soejono: 184). Meskipun tidak ada bukti-bukti yang kuat tentang hal tersebut, yaitu yang nantinya akan berkaitan dengan pemeliharaan dan perkembangbiakan binatang. Namun seperti kita ketahui bahwa anjing adalah binatang yang dapat menolong manusia dalam hidupnya, seperti berburu, dapat dipergunakan untuk menjaga tempat tinggal, dan dapat digunakan untuk berburu di dalam hutan, karena anjing adalah hewan karnivora dan memiliki daya cium yang sangat tajam.















Penutup

            Pada zaman mesolitikum di Indonesia, terdapat tiga kebudayaan utama, yaitu Pabble Culture, Bone Culture, dan Flakes Culture. Hasil dari kebudayaan tersebut ternyata memiliki kesamaan dengan daerah luar Indonesia sendiri, yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kesamaan konsepsi unit kebudayaan.
Pada zaman mesolitikum manusia sudah melakukan perburuan dan mengumpulkan makanan. Selain itu mereka mulai bercocok tanam secara sederhana. Selain itu mereka juga mulai melakukan domestikasi dan mengenal api. Dengan adanya api, mereka akan membuat alat-alat yang berhubungan dengan penggunaan api, sehingga ada kemungkinan mereka sudah memasak makanan yang akan mereka makan.
























Daftar Pustaka

Chard, Cheter. S. 1975. Man In Prehistory. United State of America: McGraw-Hill Inc.
Fagan, Brian M. 1992. People of The Earth: An Introduction to Word Prehistory. United State of America: Lindbriar Corporation.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Jakarta.
Soejono, dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka.
Kosoh, Suwarno,  & Syafei. 1979. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia Daerah.



Share this post :

+ komentar + 2 komentar

15 Oktober 2018 pukul 06.16

Ahh kontol

3 Maret 2022 pukul 12.03

Wynn Casino & Hotel - MapYRO
Casino - Las Vegas - See 9 traveler reviews, 2 photos and 논산 출장샵 blog posts. Rating: 여수 출장마사지 5 전주 출장샵 · 논산 출장샵 ‎1 속초 출장마사지 review · ‎Price range: $$$$

Posting Komentar

Test Sidebar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Zaman mesolithikum - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger